Di Indonesia terdiri dari berbagai macam kebudayaan. Setiap daerah pasti mempunyai
kebudayaannya masing-masing. Di daerah tempat tinggal saya ada suatu
kebudayaan. Setiap tahun baru jawa atau sering kali disebut dengan satu suro,
di dekat tempat asal saya ada salah satu kebudayaan tradisional Indonesia yang
masih berlangsung setiap tahunnya hingga sekarang. Kebudayaan tradisional
tersebut berada di sendang Sidhukun Desa Traji, Temanggung, Jawa Tengah.
Sendang adalah suatu tempat yang mirip dengan kolam renang namun bawahnya masih
terbuat dari tanah. Tradisi ini sebenarnya hampir mirip dengan tradisi sekaten
yang ada di Yogyakarta, namun ada sedikit perbedaan dalam tradisi ini. Sekaten
di Yogyakarta terjadi di depan keraton namun tradisi yang satu ini berlangsung
di area sendang Sidhukun yang berukuran 9x25 meter dengan kedalaman lebih dari
3 meter.
Beberapa hari sebelum puncak acara tempat ini sudah
ramai. Sepanjang Jalan Ngadirejo-Parakan dipenuhi dengan penjual musiman dan
pasar malam. Para pedagang dan pengunjung datang dari berbagai wilayah di
seluruh daerah. Para warga setempat juga bergotong royong menguras sendang itu
sebelum dilakukannya tradisi tersebut.
Di dekat sendang tersebut terdapat sumber mata air
bertuah yang mengairi sendang dan sawah penduduk setempat. Konon, disitulah tongkat Sunan Kalijaga
ditancapkan untuk mendapatkan air wudlu. Menurut juru kunci sendang tersebut,
sesaji yang dibawa akan ditempatkan di pendopo dekat sumur tersebut. Sesaji
berupa kepala kambing, bunga wangi, pisang raja dan buah-buahan lain, minuman
kopi yang harus menggunakan wadah panci tertutup, wedang santen dan kemudian
ketan bakar yang semuanya itu disebut dengan “Angsung Bulu Bekti”.
Puncak
acara diadakan pada malam satu suro pada pukul 18.00 sampai 20.00 WIB. Ramai
pengunjung dari berbagai daerah sejak sore sudah memenuhi tempat itu sampai
menimbulkan kemacetan panjang, karena jalan Traji merupakan jalan utama dari
arah Yogyakarta dan Magelang menuju Jakarta. Dalam tradisi tersebut, setiap
kepala desa harus menggunakan pakaian pengantin adat jawa kebesaran kerajaan.
Sedangkan warga lainnya terutama para lelaki dan perangkat desa mengenakan
pakaian adat Jawa gaya Yogyakarta. Mereka berjalan dari balai desa hingga
sendang sambil membawa beberapa gunungan yang berisi hasil bumi warga
setempat.. Sesaji ritual itu antara lain jajanan pasar, kembang, kemenyan,
ingkung, kepala kambing, minuman sedangkan gunungan antara lain berupa kacang
panjang, sawi, cabai, bawang putih, terong dan singkong.
Sesampainya di
sendang tersebut ribuan orang dari berbagai daerah sudah berkumpul di area
sendang Sidhukun. Setelah pembacaan doa yang dipimpin oleh kepala desa setempat
gunungan itu dilempar ke sendang tersebut dan sekitarnya. Orang-orang berebut
isi dari gunungan tersebut diikuti beberapa orang yang mencebur ke sendang itu.
Mereka juga antre untuk mendapatkan air di mata air tersebut yang dilakukan
oleh juru kunci sendang sidhukun. Di tempat ini juga dilakukan tradisi layaknya
seperti pengantin yang sering di sebut kacar-kucur.
Berberapa berkeyakinan akan mendapatkan berkah dan kemudahan jika mengikuti
acara tersebut atau jika mendapat hasil dari gunungan tersebut. Mata air di
dekat sendang itu juga bisa dipercaya untuk menyembuhkan penyakit, membuat awet
muda, dll. Setelah serangkaian tradisi terjadi di pendopo dekat sendang
tersebut, kepala desa beserta istri diikuti oleh beberapa perangkat desa
berjalan mengelilingi sendang Sidhukun.
Setelah kembali ke balai desa, kepala desa Traji beserta istri duduk
berdampingan dan mendapat penghormatan berupa sungkeman dari seluruh perangkat
desa. Pada kesempatan itu mereka membagikan uang logam kepada siapapun yang
sungkeman sebagai simbol berkah atas ritual tersebut.
Seletah acara itu, ada juga pementasan wayang
kulit selama beberapa hari di balai desa. Perlengkapan wayang serta dalang
didatangkan langsung dari Yogyakarta. Sudah banyak pengunjung yang berada
disekeliling balai desa untuk menyaksikan pertunjukan wayang tersebut.
Pertunjukan itu dilaksanakan semalam suntuk sampai pagi dan selalu diadakan
pertunjukan wayang tiap adanya tradisi tersebut.
Tradisi
itu bermula dari kisah dalang wayang kulit bernama Garu. Dia didatangi orang
berpakaian bangsawan yang mengaku berasal dari Desa Traji dan meminta untuk
mementaskan wayang kulit setiap malam satu suro. Setelah mementaskan wayang, Garu
dibayar oleh orang itu berupa kunyit satu nampan, namun Garu hanya mengambil
tiga kunyit saja.
Saat hendak pulang Garu diberi amanat oleh orang itu. Garu tidak boleh menoleh
sebelum 7 langkah, namun Garu tidak mengindahkan pesan itu. Saat menoleh
ternyata orang itu sudah hilang, tempat itu berubah menjadi sendang atau kolam
dan tiga kunyit yang diambilnya berubah menjadi emas batangan.
Setelah itu Garu sadar tenyata orang itu bukan sembarangan orang, lalu dia
pergi ke sesepuh Desa Traji dan meminta setiap Suro ada pementasan wayang di
desa tersebut.
Tradisi tersebut sempat akan dihilangkan, namun baru rencana saja warga
setempat banyak yang mengalami kesusahan, gagal panen, kekeringan dan banyak
orang sakit. Sehingga sampai sekarang tradisi kebudayaan tersebut masih
berlangsung setiap tahunnya dan tradisi budaya ini terus dilestarikan.
Masyarakat hingga saat ini memercayai akan mendapatkan rezeki melimpah,
dagangan laris, tanaman pertanian subur, dan mereka yang menjadi pegawai dapat
bekerja secara baik setelah mengikuti ritual tersebut.
Tradisi itu sudah belangsung selama ratusan tahun dan di era jaman modern
sekarang ini masyarakat masih mempercayai tradisi tersebut. Ritual ini
mempunyai maksud-maksud yang lebih ilmiah, yaitu menumbuhkan kerukunan di
antara warga desa Traji yang terdiri dari berbagai agama dan kepercayaan. “Nawu
sendang”, dimaksudkan sebagai usaha untuk memelihara sumber mata air agar tidak
liar menjadi banjir atau malah mati menjadi kering dan harapan kedepannya tidak
terjadi bencana.