Rabu, 16 Oktober 2013

Tradisi Satu Sura di Traji ꦇꦶꦶꦌꦶꦇꦸꦃ᯻ꦆꦌꦶ



Di Indonesia terdiri dari berbagai macam kebudayaan. Setiap daerah pasti mempunyai kebudayaannya masing-masing. Di daerah tempat tinggal saya ada suatu kebudayaan. Setiap tahun baru jawa atau sering kali disebut dengan satu suro, di dekat tempat asal saya ada salah satu kebudayaan tradisional Indonesia yang masih berlangsung setiap tahunnya hingga sekarang. Kebudayaan tradisional tersebut  berada di sendang Sidhukun Desa Traji, Temanggung, Jawa Tengah. Sendang adalah suatu tempat yang mirip dengan kolam renang namun bawahnya masih terbuat dari tanah. Tradisi ini sebenarnya hampir mirip dengan tradisi sekaten yang ada di Yogyakarta, namun ada sedikit perbedaan dalam tradisi ini. Sekaten di Yogyakarta terjadi di depan keraton namun tradisi yang satu ini berlangsung di area sendang Sidhukun yang berukuran 9x25 meter dengan kedalaman lebih dari 3 meter.
            Beberapa hari sebelum puncak acara tempat ini sudah ramai. Sepanjang Jalan Ngadirejo-Parakan dipenuhi dengan penjual musiman dan pasar malam. Para pedagang dan pengunjung datang dari berbagai wilayah di seluruh daerah. Para warga setempat juga bergotong royong menguras sendang itu sebelum dilakukannya tradisi tersebut.
            Di dekat sendang tersebut terdapat sumber mata air bertuah yang mengairi sendang dan sawah penduduk setempat. Konon, disitulah tongkat Sunan Kalijaga ditancapkan untuk mendapatkan air wudlu. Menurut juru kunci sendang tersebut, sesaji yang dibawa akan ditempatkan di pendopo dekat sumur tersebut. Sesaji berupa kepala kambing, bunga wangi, pisang raja dan buah-buahan lain, minuman kopi yang harus menggunakan wadah panci tertutup, wedang santen dan kemudian ketan bakar yang semuanya itu disebut dengan “Angsung Bulu Bekti”.
Puncak acara diadakan pada malam satu suro pada pukul 18.00 sampai 20.00 WIB. Ramai pengunjung dari berbagai daerah sejak sore sudah memenuhi tempat itu sampai menimbulkan kemacetan panjang, karena jalan Traji merupakan jalan utama dari arah Yogyakarta dan Magelang menuju Jakarta. Dalam tradisi tersebut, setiap kepala desa harus menggunakan pakaian pengantin adat jawa kebesaran kerajaan. Sedangkan warga lainnya terutama para lelaki dan perangkat desa mengenakan pakaian adat Jawa gaya Yogyakarta. Mereka berjalan dari balai desa hingga sendang  sambil membawa beberapa gunungan yang berisi hasil bumi warga setempat.. Sesaji ritual itu antara lain jajanan pasar, kembang, kemenyan, ingkung, kepala kambing, minuman sedangkan gunungan antara lain berupa kacang panjang, sawi, cabai, bawang putih, terong dan singkong.
            Sesampainya di sendang tersebut ribuan orang dari berbagai daerah sudah berkumpul di area sendang Sidhukun. Setelah pembacaan doa yang dipimpin oleh kepala desa setempat gunungan itu dilempar ke sendang tersebut dan sekitarnya. Orang-orang berebut isi dari gunungan tersebut diikuti beberapa orang yang mencebur ke sendang itu. Mereka juga antre untuk mendapatkan air di mata air tersebut yang dilakukan oleh juru kunci sendang sidhukun. Di tempat ini juga dilakukan tradisi layaknya seperti pengantin yang sering di sebut kacar-kucur.
            Berberapa berkeyakinan akan mendapatkan berkah dan kemudahan jika mengikuti acara tersebut atau jika mendapat hasil dari gunungan tersebut. Mata air di dekat sendang itu juga bisa dipercaya untuk menyembuhkan penyakit, membuat awet muda, dll. Setelah serangkaian tradisi terjadi di pendopo dekat sendang tersebut, kepala desa beserta istri diikuti oleh beberapa perangkat desa berjalan mengelilingi sendang Sidhukun.
            Setelah kembali ke balai desa, kepala desa Traji beserta istri duduk berdampingan dan mendapat penghormatan berupa sungkeman dari seluruh perangkat desa. Pada kesempatan itu mereka membagikan uang logam kepada siapapun yang sungkeman sebagai simbol berkah atas ritual tersebut.
             Seletah acara itu, ada juga pementasan wayang kulit selama beberapa hari di balai desa. Perlengkapan wayang serta dalang didatangkan langsung dari Yogyakarta. Sudah banyak pengunjung yang berada disekeliling balai desa untuk menyaksikan pertunjukan wayang tersebut. Pertunjukan itu dilaksanakan semalam suntuk sampai pagi dan selalu diadakan pertunjukan wayang tiap adanya tradisi tersebut.


Tradisi itu bermula dari kisah dalang wayang kulit bernama Garu. Dia didatangi orang berpakaian bangsawan yang mengaku berasal dari Desa Traji dan meminta untuk mementaskan wayang kulit setiap malam satu suro. Setelah mementaskan wayang, Garu dibayar oleh orang itu berupa kunyit satu nampan, namun Garu hanya mengambil tiga kunyit saja.
            Saat hendak pulang Garu diberi amanat oleh orang itu. Garu tidak boleh menoleh sebelum 7 langkah, namun Garu tidak mengindahkan pesan itu. Saat menoleh ternyata orang itu sudah hilang, tempat itu berubah menjadi sendang atau kolam dan tiga kunyit yang diambilnya berubah menjadi emas batangan.
            Setelah itu Garu sadar tenyata orang itu bukan sembarangan orang, lalu dia pergi ke sesepuh Desa Traji dan meminta setiap Suro ada pementasan wayang di desa tersebut.
            Tradisi tersebut sempat akan dihilangkan, namun baru rencana saja warga setempat banyak yang mengalami kesusahan, gagal panen, kekeringan dan banyak orang sakit. Sehingga sampai sekarang tradisi kebudayaan tersebut masih berlangsung setiap tahunnya dan tradisi budaya ini terus dilestarikan. Masyarakat hingga saat ini memercayai akan mendapatkan rezeki melimpah, dagangan laris, tanaman pertanian subur, dan mereka yang menjadi pegawai dapat bekerja secara baik setelah mengikuti ritual tersebut.
            Tradisi itu sudah belangsung selama ratusan tahun dan di era jaman modern sekarang ini masyarakat masih mempercayai tradisi tersebut. Ritual ini mempunyai maksud-maksud yang lebih ilmiah, yaitu menumbuhkan kerukunan di antara warga desa Traji yang terdiri dari berbagai agama dan kepercayaan. “Nawu sendang”, dimaksudkan sebagai usaha untuk memelihara sumber mata air agar tidak liar menjadi banjir atau malah mati menjadi kering dan harapan kedepannya tidak terjadi bencana.